Mengejek,memanggil dengan bukan Nama sebenarnya, berkelahi dan mengecilkan kerap jadi kenakalan anak anak dan remaja yang sudah dianggap biasa. Padahal, tindakan ini merupakan bagian dari oerunduangan atau bullying.
Jangan seoelehkan perkara bulliying, pada remaja, bulliying, merupakan pintu masuk bagi berbagi gangguan kesehatan mental seperti depresi hingga bunuh diri.
“akibat bulliying itu bermacem macem. Bisa mengalami kecemasan hingga depresi berat,” kata dokter ahli kesehatan jiwa agung frijanto di kementrian kesehatan dalam rangka memperingati hari kesehatan jiwa sedunia tiap 10 oktober.
Menurut agung,banyak kasus gangguan kesehatan mental akibat bulliying yang tidak tertangani dengan baik. Pasalnya remaja sering kali tak terbuka soal masalah masalah yang dialaminya. Begitu pula dengan orang tua dan guru yang abai paa kondisi remaja.
Data global dari WHO pada 2018 menunjukan, masalah bunuh merupakan penyebab kematian terbanyak pada kelompok usai 15-29 Tahun.
Hasil survey dari global schoola-based student helth survey di Indonesia pada 2015 menemukan 1 dari 20 remaja pernah merasa ingin bunuh diri. Ide bunuh diri mencapai 5,9 persen pada remaja perempuan dan 3,4 persen pada remaja laki-laki sebanyak 20,7 persen remaja juga pernah mengalami bullying.
Studi terbaru dari California healthy kids survey pada 2019 menunjukan, bulliying memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang bagi remaja yang dirundung oleh temen temennya karena alas an apapun memiliki dampak kesehatan mental jangka panjang yang lebih buruk darib pada anak-anak yang diperlakukan buruk oleh orang dewasa.
Remaja yang mendapatkan bulliying lebih mungkin mengalami kecemasanny, depresi, dan mempertimbangkan melukai diri sendiri dan bunuh diri di kemudian hari.
Untuk mencegah gangguan kesehatan pada remaja ini, orang tua dan guru memang peranan penting untuk mendidik anak agar bergaul tanpa bulliyin. Remaja yang mengalami bulliying juga harus mendapatkan perhatian agar trauma dan kecemasan bisa disembuhkan.